Bagi pemula disarankan menggunakan strategi DCA (Dollar Cost Averaging) daripada menggunakan strategi lump sump. Mengapa? Sebab strategi DCA relatif (ingat, relatif lho.. bagi beberapa pemain reksadana yang berpengalaman, DCA justru terasa beresiko) lebih aman di banding metode lainnya, terhadap bahayanya volatilitas pasar.
Apa Itu Strategi DCA?
Secara sederhana DCA berarti memecah dana ke beberapa bagian, untuk diinvestasikan secara berkala, misalnya 1 bulan sekali, tanpa peduli pasar sedang naik atau turun. Secara sederhana, DCA meminta kita berinvestasi secara rutin, tidak peduli kondisi pasar atau tidak melakukan market timing.
Sebagai illustrasi, si Amat memiliki uang 100 juta rupiah. Karena si Amat ini masih pemula, maka dia pun masih merasa takut akan resiko kerugian di pasar modal. Dan tentunya sebagai pemula baru di dunia reksadana, dia belum mampu mengelola resiko secara baik. Namun, niatnya masuk ke dunia reksadana amat menggebu-gebu. Lantas, tidak adakah cara yang baik baginya agar bisa ikut merasakan gurihnya reksadana (emangnya kacang???) dengan tetap mempertahankan resiko yang tidak terlalu besar bagi seorang pemula.
Untunglah si Amat bertemu dengan seorang ahli perencana keuangan. Singkat cerita penasihat keuangan ini menyarankan padanya untuk berinvestasi secara teratur saja. “Pak Amat, bagaimana jika Bapak berinvestasi rutin tiap bulan saja? Uangnya yang 100 juta dipecah ke 12 bagian, menjadi 8,5 juta. Lalu tiap awal bulan dimasukkkan ke reksadana secara rutin.”
“Lantas gimana Pak kalau pasar sedang naik atau turun?”, sergah si Amat. “Akan rugikah saya?” Dengan sareh, sang penasihat keuangan menjawab. “Jangan pikirkan itu. Sebagai pemula, Bapak jelas belum siap untuk melakukan market-timing. Bapak takkan mampu menebak pasar mau turun atau naik.”
Maka katanya, “Karena itu, biarlah uang itu dipecah ke 12 bagian saja, lalu dimasukkan ke reksadana dengan rutin. Dengan demikian, pada bulan-bulan dimana pasar turun / hancur, dana yang kena cuma 1/12 bagian saja. Nah lebih aman khan?”
Untuk mengillustrasikan kehebatan teknik DCA ini, katakanlah kondisi pasar kira-kira sebagai berikut.
Bulan Januari: +5%
Bulan Februari: +15%
Bulan Maret: -10%
Bulan April: +3%
Bulan Mei: -40%
Bulan Juni: -5%
Bulan Juli: +10%
Bulan Agustus: +10%
Bulan September: +10%
Bulan Oktober: +5%
Bulan November: +6%
Bulan December: +5%
Dengan DCA dimana uang dipecah menjadi 12 bagian yang masing-masing 8,5 juta saja, maka pada bulan Mei dimana pasar rontok minus 40%, dana si Amat yang terimbas pasar hanya 5x8,5 juta = 60 juta saja. Bayangkan jika sejak awal si Amat menggunakan metode lump sump, yang memasukkan dana sekali saja sejak awal Januari, maka dana si Amat yang terkena imbas krisis akan menjadi 100 juta. Mana yang lebih berisiko?
Itulah konsep dasar strategi DCA, yakni memecah dana ke beberapa bagian, dan memasukkan secara rutin. Tujuannya, jika kelak terkena imbas, maka yang terimbas tidak banyak, sebab sedari awal sudah dipecah ke beberapa bagian.
Metode ini amat simpel, dan juga amat bermanfaat di Indonesia. Mengapa? Sebab banyak warga Indonesia yang beranjak dari deposito ke reksadana. Sebagai orang yang terbiasa dengan keamanan deposito, jelas kasihan mereka dong kalau tiba-tiba disuruh siap mental menghadapi kerasnya dunia pasar modal. Jadi apa solusinya? Sederhana saja, bagi pemula yang beranjak dari deposito ke reksadana, gunakan saja metode DCA ini.
Meskipun DCA amat populer di kalangan pemula reksadana karena keamanan serta kemudahannya, namun bagi pemain reksadana yang berpengalaman, DCA mempunyai banyak kelemahan yang berarti. Namun, DCA sendiri bisa disempurnakan dengan DCA Kombinasi Membaca Fundamental atau DCA Kombinasi SMA. Bagaimana caranya? Simak triknya di blog-blog berikutnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar